Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui,
bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri…
Kami berbangga,
ketika jiwa-jiwa kami gugur
sebagai penebus bagi kehormatan mereka,
jika memang tebusan itu yang diperlukan…..
Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan,
kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka
jika memang itu harga yang harus dibayar….
Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini…
selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami,
menguasai perasaan kami,
memeras habis air mata kami,
dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami….
Betapa berat rasa di hati kami menyaksikan bencana
yang mencabik-cabik bangsa ini,
sementara kita hanya menyerah pada kehinaan
dan pasrah oleh keputusasaan….
Kami ingin agar bangsa ini mengetahui bahwa
kami membawa misi yang bersih dan suci,
bersih dari ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia,
dan bersih dari hawa nafsu….
Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia,
tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih…
Yang kami harap adalah
terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
serta kebaikan dari Allah – Pencipta Alam semesta
Kamis, 26 Juni 2014
Rabu, 11 Juni 2014
Renungan Untuk Sang Aktivis
Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku , kita memang berada disatu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana profesionalitasmu untuk ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah, waktumu terlalu mahal nak .Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan.Karena tanpa ridhamu, Mustahil kuperoleh ridha-Nya.
Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.
Anakku , kita memang berada disatu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku.
Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?
Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?
Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana profesionalitasmu untuk ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah, waktumu terlalu mahal nak .Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..
Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.
Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan.Karena tanpa ridhamu, Mustahil kuperoleh ridha-Nya.
Minggu, 09 Maret 2014
Perang Pemikiran
Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik
murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di
tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya
begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.
Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat
penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan
mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan
kirinya, kian lama kian cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang
perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya
angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.
Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk
mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang
beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.
“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan
yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat
Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi
bathil, dan sebaliknya.
Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi
karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya
lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat
mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar
nilai dan etika.”
“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina
tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum
nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya
hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan
tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru
kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”
“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru
akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh
ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.
Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah
dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir.
Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang
berhasil.
Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia
ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat,
tidak memijak karpet.
“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam
tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian
akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina
dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari
pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang
kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat,
maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu
susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan
dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu
persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan
menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian.
Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun
kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi
sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”
“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya
mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang
Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah
ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya
hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar,
lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita
berdo’a dahulu sebelum pulang”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat
belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.
Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang
dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang
artinya:
“Mereka
hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak
mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan
hal itu.”(QS. At Taubah :32).
Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk
merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius
itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan
elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.
Begitulah sikap musuh-musuh Islam. Lalu, bagaimana sikap kita?
Langganan:
Postingan (Atom)