Abdul Ony Setiawan

Sabtu, 20 Juni 2015

Bunda, Ayah, Aku Anakmu

“ Goblok kamu ya…” Kata Suamiku sambil melemparkan buku lapor sekolah Doni. Kulihat suamiku berdiri dari tempat duduknya dan kemudian dia menarik kuping Doni dengan keras. Doni meringis. Tak berapa lama Suamiku pergi kekamar dan keluar kembali membawa penepuk nyamuk. Dengan garang suamiku memukul Doni berkali kali dengan penepuk nyamuk itu. Penepuk nyamuk itu diarahkan kekaki, kemudian ke punggung dan terus , terus. Doni menangis “ Ampun, ayah ..ampun ayah..” Katanya dengan suara terisak isak. Wajahnya memancarkan rasa takut. Dia tidak meraung. Doni ku tegar dengan siksaan itu. Tapi matanya memandangku. Dia membutuhkan perlindunganku. Tapi aku tak sanggup karena aku tahu betul sifat suamiku.
“Lihat adik adikmu. Mereka semua pintar pintar sekolah. Mereka rajin belajar. Ini kamu anak tertua malah malas dan tolol Mau jadi apa kamu nanti ?. Mau jadi beban adik adik kamu ya…he “ Kata suamiku dengan suara terengah engah kelelahan memukul Doni. Suamiku terduduk dikorsi. Matanya kosong memandang kearah Doni dan kemudian melirik kearah ku “ Kamu ajarin dia. Aku tidak mau lagi lihat lapor sekolahnya buruk. Dengar itu. “ Kata suamiku kepadaku sambil berdiri dan masuk kekamar tidur.
Kupeluk Doni. Matanya memudar. Aku tahu dengan nilai lapor buruk dan tidak naik kelas saja dia sudah malu apalagi di maki maki dan dimarahi didepan adik adiknya. Dia malu sebagai anak tertua. Kembali matanya memandangku. Kulihat dia butuh dukunganku. Kupeluk Doni dengan erat “ Anak bunda, tidak tolol. Anak bunda pintar kok. Besok ya rajin ya belajarnya”
“ Doni udah belajar sungguh sungguh, bunda, Bunda kan lihat sendiri. Tapi Doni memang engga pintar seperti Ruli dan Rini. Kenapa ya Bunda” Wajah lugunya membuatku terenyuh.. Aku menangis “ Doni, pintar kok. Doni kan anak ayah. Ayah Doni pintar tentu Doni juga pintar. “
“ Doni bukan anak ayah.” Katanya dengan mata tertunduk “ Doni telah mengecewakan Ayah, ya bunda “
Malamnya , adiknya Ruli yang sekamar dengannya membangunkan kami karena ketakutan melihat Doni menggigau terus. Aku dan suamiku berhamburan kekamar Doni. Kurasakan badannya panas.Kupeluk Doni dengan sekuat jiwaku untuk menenangkannya. Matanya melotot kearah kosong. Kurasakan badannya panas. Segera kukompres kepalanya dan suamiku segera menghubungi dokter keluarga. Doni tak lepas dari pelukanku “ Anak bunda, buah hati bunda, kenapa sayang. Ini bunda,..” Kataku sambil terus membelai kepalanya. Tak berapa lama matanya mulai redup dan terkulai. Dia mulai sadar. Doni membalas pelukanku. ‘ Bunda, temani Doni tidur ya." Katanya sayup sayup. Suamiku hanya menghelap nafas. Aku tahu suamiku merasa bersalah karena kejadian siang tadi.
Doni adalah putra tertua kami. Dia lahir memang ketika keadaan keluarga kami sadang sulit. Suamiku ketika itu masih kuliah dan bekerja serabutan untuk membiayai kuliah dan rumah tangga. Ketika itulah aku hamil Doni. Mungkin karena kurang gizi selama kehamilan tidak membuat janinku tumbuh dengan sempurna. Kemudian , ketika Doni lahir kehidupan kami masih sangat sederhana. Masa balita Doni pun tidak sebaik anak anak lain. Diapun kurang gizi. Tapi ketika usianya dua tahun, kehidupan kami mulai membaik seiring usainya kuliah suamiku dan mendapatkan karir yang bagus di BUMN. Setelah itu aku kembali hamil dan Ruli lahir., juga laki laki dan dua tahu setelah itu, Rini lahir, adik perempuannya. Kedua putra putriku yang lahir setelah Doni mendapatkan lingkungan yang baik dan gizi yang baik pula. Makanya mereka disekolah pintar pintar. Makanya aku tahu betul bahwa kemajuan generasi ditentukan oleh ketersediaan gixi yang cukup dan lingkungan yang baik.
Tapi keadaan ini tidak pernah mau diterima oleh Suamiku. Dia punya standard yang tinggi terhadap anak anaknya. Dia ingin semua anaknya seperti dia. Pintar dan cerdas. “ Masalah Doni bukannya dia tolol, Tapi dia malas. Itu saja. “ Kata suamiku berkali kali. Seakan dia ingin menepis tesis tentang ketersediaan gizi sebagai pendukung anak jadi cerdas. “ Aku ini dari keluarga miskin. Manapula aku ada gizi cukup. Mana pula orang tuaku ngerti soal gixi. Tapi nyatanya aku berhasil. “ Aku tak bisa berkata banyak untuk mempertahankan tesisku itu.
Seminggu setelah itu, suamiku memutuskan untuk mengirim Doni kepesantren. AKu tersentak.
“ Apa alasan Mas mengirim Doni ke Pondok Pesantren “
“ Biar dia bisa dididik dengan benar”
“ Apakah dirumah dia tidak mendapatkan itu”
“ Ini sudah keputusanku, Titik.
“ tapi kenapa , Mas” AKu berusaha ingin tahu alasan dibalik itu.
Suamiku hanya diam. Aku tahu alasannya.Dia tidak ingin ada pengaruh buruk kepada kedua putra putri kami. Dia malu dengan tidak naik kelasnya Doni. Suamiku ingin memisahkan Doni dari adik adiknya agar jelas mana yang bisa diandalkannya dan mana yang harus dibuangnya. Mungkinkah itu alasannya. Bagaimanapun , bagiku Doni akan tetap putraku dan aku akan selalu ada untuknya. Aku tak berdaya. Suamiku terlalu pintar bila diajak berdebat.
Ketika Doni mengetahui dia akan dikirim ke Pondok Pesantren, dia memandangku. Dia nanpak bingung. Dia terlalu dekat denganku dan tak ingin berpisah dariku.
Dia peluk aku “ Doni engga mau jauh jauh dari bunda” Katanya.
Tapi seketika itu juga suamiku membentaknya “ Kamu ini laki laki. TIdak boleh cengeng. Tidak boleh hidup dibawah ketika ibumu. Ngerti. Kamu harus ikut kata Ayah. Besok Ayah akan urus kepindahan kamu ke Pondok Pesantren. “
Setelah Doni berada di Pondok Pesantren setiap hari aku merindukan buah hatiku. Tapi suamiku nampak tidak peduli. “ Kamu tidak boleh mengunjunginya di pondok. Dia harus diajarkan mandiri. Tunggu saja kalau liburan dia akan pulang” Kata suamiku tegas seakan membaca kerinduanku untuk mengunjungi Doni.
Tak terasa Doni kini sudah kelas 3 Madrasa Aliyah atau setingkat SMU. Ruli kelas 1 SMU dan Rini kelas 2 SLP. Suamiku tidak pernah bertanya soal Raport sekolahnya. Tapi aku tahu raport sekolahnya tak begitu bagus tapi juga tidak begitu buruk. Bila liburan Doni pulang kerumah, Doni lebih banyak diam. Dia makan tak pernah berlebihan dan tak pernah bersuara selagi makan sementara adiknya bercerita banyak soal disekolah dan suamiku menanggapi dengan tangkas untuk mencerahkan. Walau dia satu kamar dengan adiknya namun kamar itu selalu dibersihkannya setelah bangun tidur. Tengah malam dia bangun dan sholat tahajud dan berzikir sampai sholat subuh.
Ku purhatikan tahun demi tahu perubahan Doni setelah mondok. Dia berubah dan berbeda dengan adik adiknya. Dia sangat mandiri dan hemat berbicara. Setiap hendak pergi keluar rumah, dia selalu mencium tanganku dan setelah itu memelukku. Beda sekali dengan adik adiknya yang serba cuek dengan gaya hidup modern didikan suamiku.
Setamat Madrasa Aliyah, Doni kembali tinggal dirumah. Suamiku tidak menyuruhnya melanjutkan ke Universitas. “ Nilai rapor dan kemampuannya tak bisa masuk universitas. Sudahlah. Aku tidak bisa mikir soal masa depan dia. Kalau dipaksa juga masuk universitas akan menambah beban mentalnya. “ Demikian alasan suamiku. Aku dapat memaklumi itu. Namun suamiku tak pernah berpikir apa yang harus diperbuat Doni setelah lulus dari pondok. Donipun tidak pernah bertanya. Dia hanya menanti dengan sabar.
Selama setahun setelah Doni tamat dari mondok, waktunya lebih banyak di habiskan di Masjid. Dia terpilih sebagai ketua Remaja Islam Masjid. Doni tidak memilih Masjid yang berada di komplek kami tapi dia memilih masjid diperkampungan yang berada dibelakang komplek. Mungkin karena inilah suamiku semakin kesal dengan Doni karena dia bergaul dengan orang kebanyakan. Suamiku sangat menjaga reputasinya dan tak ingin sedikitpun tercemar. Mungkin karena dia malu dengan cemoohan dari tetangga maka dia kadang marah tanpa alasan yang jelas kepada Doni. Tapi Doni tetap diam. Tak sedikitpun dia membela diri.
Suatu hari yang tak pernah kulupakan adalah ketika polisi datang kerumahku. Polisi mencurigai Doni dan teman temannya mencuri di rumah yang ada di komplek kami. Aku tersentak. Benarkah itu. Doni sujud dikaki ku sambil berkata “ Doni tidak mencuri , Bunda. TIdak, Bunda percayakan dengan Doni. Kami memang sering menghabiskan malam di masjid tapi tidak pernah keluar untuk mencuri.” Aku meraung ketika Doni dibawa kekantor polisi. Suamiku dengan segala daya dan upaya membela Doni. Alhamdulilah Doni dan teman temannya terbebaskan dari tuntutan itu. Karena memang tidak ada bukti sama sekali. Mungkin ini akibat kekesalan penghuni komplek oleh ulah Doni dan kawan kawan yang selalu berzikir dimalam hari dan menggangu ketenangan tidur.
Tapi akibat kejadian itu , suamiku mengusir Doni dari rumah. Doni tidak protes. Dia hanya diam dan menerima keputusan itu. Sebelum pergi dia rangkul aku” Bunda , Maafkanku. Doni belum bisa berbuat apapun untuk membahagiakan bunda dan Ayah. Maafkan Doni “ Pesanya. Diapun memandang adiknya satu satu. Dia peluk mereka satu persatu “ Jaga bunda ya. Mulailah sholat dan jangan tinggalkan sholat. Kalian sudah besar .” demikian pesan Doni. Suamiku nampak tegar dengan sikapnya untuk mengusir DOni dari rumah.
“ Mas, Dimana Doni akan tinggal. “ Kataku dengan batas kekuatan terakhirku membela Doni.
“ Itu bukan urusanku. Dia sudah dewasa. Dia harus belajar bertanggung jawab dengan hidupnya sendiri.
***
Tak terasa sudah enam tahun Doni pergi dari Rumah. Setiap bulan dia selalu mengirim surat kepadaku. Dari suratnya kutahu Doni berpindah pindah kota. Pernah di Bandung, Jakarta, Surabaya dan tiga tahun lalu dia berangkat ke Luar negeri. Bila membayangkan masa kanak kanaknya kadang aku menangis. Aku merindukan putra sulungku. Setiap hari kami menikmati fasilitas hidup yang berkecukupan. Ruli kuliah dengan kendaraan bagus dan ATM yang berisi penuh. Rinipun sama. Karir suamiku semakin tinggi. Lingkungan social kami semakin berkelas. Tapi, satu putra kami pergi dari kami. Entah bagaimana kehidupannya. Apakah dia lapar. Apakah dia kebasahan ketika hujan karena tidak ada tempat bernaung. Namun dari surat Doni , aku tahu dia baik baik saja. Dia selalu menitipkan pesan kepada kami, “ Jangan tinggalkan sholat. Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita siang dan malam. “

***
Prahara datang kepada keluarga kami. Suamiku tersangkut kasus Korupsi. Selama proses pemeriksaan itu suamiku tidak dibenarkan masuk kantor. Dia dinonaktifkan. Selama proses itupula suamiku nampak murung. Kesehatannya mulai terganggu. Suamiku mengidap hipertensii. Dan puncaknya , adalah ketika Polisi menjemput suamiku di rumah. Suamiku terbukti melakukan tindak pidana korupsi. Rumah dan semua harta yang selama ini dikumpulkan disita oleh negara. Media maassa memberitakan itu setiap hari. Reputasi yang selalu dijaga oleh suamiku selama ini ternyata dengan mudah hancur berkeping keping. Harta yang dikumpul, sirna seketika. Kami sekeluarga menjadi pesakitan. Ruli malas untuk terus keliah karena malu dengan teman temannya. Rini juga sama yang tak ingin terus kuliah.

Kini suamiku dipenjara dan anak anak jadi bebanku dirumah kontrakan. Ya walau mereka sudah dewasa namun mereka menjadi bebanku. Mereka tak mampu untuk menolongku. Baru kutahu bahwa selama ini kemanjaan yang diberikan oleh suamiku telah membuat mereka lemah untuk survival dengan segala kekurangan. Maka jadilah mereka bebanku ditengah prahara kehidupan kami. Pada saat inilah aku sangat merindukan putra sulungku. Ditengah aku sangat merindukan itulah aku melihat sosok pria gagah berdiri didepan pintu rumah.
Doniku ada didepanku dengan senyuman khasnya. Dia menghambur kedalam pelukanku. “ Maafkan aku bunda, Aku baru sempat datang sekarang sejak aku mendapat surat dari bunda tentang keadaan ayah. “ katanya. Dari wajahnya kutahu dia sangat merindukanku. Rini dan Ruli juga segera memeluk Doni. Mereka juga merindukan kakaknya. Hari itu, kami berempat saling berpelukan untuk meyakinkan kami akan selalu bersama sama.
Kehadiran Doni dirumah telah membuat suasana menjadi lain. Dengan bekal tabungannya selama bekerja diluar negeri, Doni membuka usaha percetakan dan reklame. Aku tahu betul sedari kecil dia suka sekali menggambar namun hobi ini selalu di cemoohkan oleh ayahnya. Doni mengambil alih peran ayahnya untuk melindungi kami. Tak lebih setahu setelah itu, Ruli kembali kuliah dan tak pernah meninggalkan sholat dan juga Rini. Setiap maghrib dan subuh Doni menjadi imam kami sholat berjamaah dirumah. Seusai sholat berjaman Doni tak lupa duduk bersilah dihadapan kami dan berbicara dengan bahasa yang sangat halus , beda sekali dengan gaya ayahnya
“ Manusia tidak dituntut untuk terhormat dihadapan manusia tapi dihadapan Allah. Harta dunia, pangkat dan jabatan tidak bisa dijadikan tolok ukur kehormatan. Kita harus berjalan dengan cara yang benar dan itulah kunci meraih kebahagiaan dunia maupun akhirat. Itulah yang harus kita perjuangkan dalam hidup agar mendapatkan kemuliaan disisi Allah. . Dekatlah kepada Allah maka Allah akan menjaga kita. Apakah ada yang lebih hebat menjaga kita didunia ini dibandingkan dengan Allah. “
“ Apa yang menimpa keluarga kita sekarang bukanlan azab dari Allah. Ini karena Allah cinta kepada Ayah. Allah cinta kepada kita semua karena kita semua punya peran hingga membuat ayah terpuruk dalam perbuatan dosa sebagai koruptor. Allah sedang berdialogh dengan kita tentang sabar dan ikhlas, tentang hakikat kehidupan, tentang hakikat kehormatan. Kita harus mengambil hikmah dari ini semua untuk kembali kepada Allah dalam sesal dan taubat. Agar bila besok ajal menjemput kita, tak ada lagi yang harus disesalkan, Karna kita sudah sangat siap untuk pulang keharibaan Allah dengan bersih. “
Seusai Doni berbicara , aku selalu menangis. Doni yang tidak pintar sekolah, tapi Allah mengajarinya untuk mengetahui rahasia terdalam tentang kehidupan dan dia mendapatkan itu untuk menjadi pelindung kami dan menuntun kami dalam taubah. Ini jugalah yang mempengaruhi sikap suamiku dipenjara. Kesehatannya membaik. Darah tingginya tak lagi sering naik. Dia ikhlas dan sabar , dan tentu karena dia semakin dekat kepada Allah. Tak pernah tinggal sholat sekalipun. Zikir dan linangan airmata sesal akan dosanya telah membuat jiwanya tentram. Mahasuci Allah , terimakasih anakku.

Kamis, 26 Juni 2014

Idealisme

Betapa inginnya kami agar bangsa ini mengetahui,
bahwa mereka lebih kami cintai daripada diri kami sendiri…

Kami berbangga,
ketika jiwa-jiwa kami gugur
sebagai penebus bagi kehormatan mereka,
jika memang tebusan itu yang diperlukan…..

Atau menjadi harga bagi tegaknya kejayaan,
kemuliaan, dan terwujudnya cita-cita mereka
jika memang itu harga yang harus dibayar….

Tiada sesuatu yang membuat kami bersikap seperti ini…
selain rasa cinta yang telah mengharu-biru hati kami,
menguasai perasaan kami,
memeras habis air mata kami,
dan mencabut rasa ingin tidur dari pelupuk mata kami….

Betapa berat rasa di hati kami menyaksikan bencana
yang mencabik-cabik bangsa ini,
sementara kita hanya menyerah pada kehinaan
dan pasrah oleh keputusasaan….

Kami ingin agar bangsa ini mengetahui bahwa
kami membawa misi yang bersih dan suci,
bersih dari ambisi pribadi, bersih dari kepentingan dunia,
dan bersih dari hawa nafsu….

Kami tidak mengharapkan sesuatu pun dari manusia,
tidak mengharap harta benda atau imbalan lainnya,
tidak juga popularitas, apalagi sekedar ucapan terima kasih…

Yang kami harap adalah
terbentuknya Indonesia yang lebih baik dan bermartabat
serta kebaikan dari Allah – Pencipta Alam semesta

Rabu, 11 Juni 2014

Renungan Untuk Sang Aktivis

Orang bilang anakku seorang aktivis. Kata mereka namanya tersohor dikampusnya sana. Orang bilang anakku seorang aktivis. Dengan segudang kesibukan yang disebutnya amanah umat. Orang bilang anakku seorang aktivis. Tapi bolehkah aku sampaikan padamu nak? Ibu bilang engkau hanya seorang putra kecil ibu yang lugu.

Anakku, sejak mereka bilang engkau seorang aktivis ibu kembali mematut diri menjadi ibu seorang aktivis. Dengan segala kesibukkanmu, ibu berusaha mengerti betapa engkau ingin agar waktumu terisi dengan segala yang bermanfaat. Ibu sungguh mengerti itu nak, tapi apakah menghabiskan waktu dengan ibumu ini adalah sesuatu yang sia-sia nak? Sungguh setengah dari umur ibu telah ibu habiskan untuk membesarkan dan menghabiskan waktu bersamamu nak,tanpa pernah ibu berfikir bahwa itu adalah waktu yang sia-sia.

Anakku , kita memang berada disatu atap nak, di atap yang sama saat dulu engkau bermanja dengan ibumu ini. Tapi kini dimanakah rumahmu nak? Ibu tak lagi melihat jiwamu di rumah ini. Sepanjang hari ibu tunggu kehadiranmu dirumah, dengan penuh doa agar Allah senantiasa menjagamu. Larut malam engkau kembali dengan wajah kusut. Mungkin tawamu telah habis hari ini, tapi ibu berharap engkau sudi mengukir senyum untuk ibu yang begitu merindukanmu. Ah, lagi-lagi ibu terpaksa harus mengerti, bahwa engkau begitu lelah dengan segala aktivitasmu hingga tak mampu lagi tersenyum untuk ibu. Atau jangankan untuk tersenyum,sekedar untuk mengalihkan pandangan pada ibumu saja engkau engkau, katamu engkau sedang sibuk mengejar deadline. Padahal, andai kau tahu nak,ibu ingin sekali mendengar segala kegiatanmu hari ini, memastikan engkau baik-baik saja,memberi sedikit nasehat yang ibu yakin engkau pasti lebih tahu. Ibu memang bukan aktivis sekaliber engkau nak, tapi bukankah aku ini ibumu yang 9 bulan waktumu engkau habiskan didalam rahimku.

Anakku, ibu mendengar engkau sedang begitu sibuk nak. Nampaknya engkau begitu mengkhawatirkan nasib organisasimu, engkau mengatur segala strategi untuk mengkader anggotamu. Engkau nampak amat peduli dengan semua itu, ibu bangga padamu. Namun, sebagian hati ibu mulai bertanya nak, kapan terakhir engkau menanyakan kabar ibumu ini nak? Apakah engkau mengkhawatirkan ibu seperti engkau mengkhawatirkan keberhasilan acaramu? Kapan terakhir engkau menanyakan keadaan adik-adikmu nak? Apakah adik-adikmu ini tidak lebih penting dari anggota organisasimu nak?

Anakku, ibu sungguh sedih mendengar ucapanmu. Saat engkau merasa sangat tidak produktif ketika harus menghabiskan waktu dengan keluargamu. Memang nak, menghabiskan waktu dengan keluargamu tak akan menyelesaikan tumpukan tugas yang harus kau buat, tak juga menyelesaikan berbagai amanah yang harus kau lakukan. Tapi bukankah keluargamu ini adalah tugasmu juga nak? bukankah keluargamu ini adalah amanahmu yang juga harus kau jaga nak?

Anakku, ibu mencoba membuka buku agendamu. Buku agenda sang aktivis. Jadwalmu begitu padat nak, ada rapat disana sini, ada jadwal mengkaji, ada jadwal bertemu dengan tokoh-tokoh penting. Ibu membuka lembar demi lembarnya, disana ada sekumpulan agendamu, ada sekumpulan mimpi dan harapanmu. Ibu membuka lagi lembar demi lembarnya, masih saja ibu berharap bahwa nama ibu ada disana. Ternyata memang tak ada nak, tak ada agenda untuk bersama ibumu yang renta ini. Tak ada cita-cita untuk ibumu ini. Padahal nak, andai engkau tahu sejak kau ada dirahim ibu tak ada cita dan agenda yang lebih penting untuk ibu selain cita dan agenda untukmu,putra kecilku.
Kalau boleh ibu meminjam bahasa mereka, mereka bilang engkau seorang organisatoris yang profesional. Boleh ibu bertanya nak, dimana profesionalitasmu untuk ibu? Dimana profesionalitasmu untuk keluarga? Dimana engkau letakkan keluargamu dalam skala prioritas yang kau buat? Ah, waktumu terlalu mahal nak .Sampai-sampai ibu tak lagi mampu untuk membeli waktumu agar engkau bisa bersama ibu..

Setiap pertemuan pasti akan menemukan akhirnya. Pun pertemuan dengan orang tercinta, ibu, ayah, kakak dan adik . Akhirnya tak mundur sedetik tak maju sedetik. Dan hingga saat itu datang, jangan sampai yang tersisa hanyalah penyesalan. Tentang rasa cinta untuk mereka yang juga masih malu tuk diucapkan. Tentang rindu kebersamaan yang terlambat teruntai.

Untuk mereka yang kasih sayangnya tak kan pernah putus, untuk mereka sang penopang semangat juang ini. Saksikanlah, bahwa tak ada yang lebih berarti dari ridhamu atas segala aktivitas yang kita lakukan.Karena tanpa ridhamu, Mustahil kuperoleh ridha-Nya. 

Minggu, 09 Maret 2014

Perang Pemikiran

Ibu Guru berkerudung rapi tampak bersemangat di depan kelas sedang mendidik murid-muridnya dalam pendidikan Syari’at Islam. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada penghapus. Ibu Guru berkata, “Saya punya permainan. Caranya begini, di tangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada penghapus.
Jika saya angkat kapur ini, maka berserulah “Kapur!”, jika saya angkat penghapus ini, maka berserulah “Penghapus!” Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Ibu Guru mengangkat silih berganti antara tangan kanan dan tangan kirinya, kian lama kian cepat.
Beberapa saat kemudian sang guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka berserulah “Penghapus!”, jika saya angkat penghapus, maka katakanlah “Kapur!”. Dan permainan diulang kembali.
Maka pada mulanya murid-murid itu keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti. Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya.
“Anak-anak, begitulah ummat Islam. Awalnya kalian jelas dapat membedakan yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Namun kemudian, musuh musuh ummat Islam berupaya melalui berbagai cara, untuk menukarkan yang haq itu menjadi bathil, dan sebaliknya.
Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kalian menerima hal tersebut, tetapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kalian terbiasa dengan hal itu. Dan kalian mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kalian tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan etika.”
“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang pelik, zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, sex sebelum nikah menjadi suatu hiburan dan trend, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup, korupsi menjadi kebanggaan dan lain lain. Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disedari, kalian sedikit demi sedikit menerimanya. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham Bu Guru”
“Baik permainan kedua,” Ibu Guru melanjutkan. “Bu Guru ada Qur’an, Bu Guru akan meletakkannya di tengah karpet. Quran itu “dijaga” sekelilingnya oleh ummat yang dimisalkan karpet. Sekarang anak-anak berdiri di luar karpet.
Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada di tengah dan ditukar dengan buku lain, tanpa memijak karpet?” Murid-muridnya berpikir. Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain, tetapi tak ada yang berhasil.
Akhirnya Sang Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an ditukarnya dengan buku filsafat materialisme. Ia memenuhi syarat, tidak memijak karpet.
“Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya. Musuh-musuh Islam tidak akan memijak-mijak kalian dengan terang-terangan. Karena tentu kalian akan menolaknya mentah-mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tetapi mereka akan menggulung kalian perlahan-lahan dari pinggir, sehingga kalian tidak sadar. Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibina pundasi yang kuat. Begitulah ummat Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau fondasinya dahulu. Lebih mudah hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dahulu, kursi dipindahkan dahulu, lemari dikeluarkan dahulu satu persatu, baru rumah dihancurkan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kalian. Mereka tidak akan menghantam terang-terangan, tetapi ia akan perlahan-lahan meletihkan kalian. Mulai dari perangai, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun kalian itu Muslim, tetapi kalian telah meninggalkan Syari’at Islam sedikit demi sedikit. Dan itulah yang mereka inginkan.”
“Kenapa mereka tidak berani terang-terangan menginjak-injak Bu Guru?” tanya mereka. Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tetapi sekarang tidak lagi. Begitulah ummat Islam. Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tetapi kalau diserang serentak terang-terangan, baru mereka akan sadar, lalu mereka bangkit serentak. Selesailah pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdo’a dahulu sebelum pulang”
Matahari bersinar terik tatkala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya.
Ini semua adalah fenomena Ghazwu lFikri (perang pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh Islam. Allah berfirman dalam surat At Taubah yang artinya:
“Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, sedang Allah tidak mau selain menyempurnakan cahayaNya, sekalipun orang-orang kafir itu benci akan hal itu.”(QS. At Taubah :32).
Musuh-musuh Islam berupaya dengan kata-kata yang membius ummat Islam untuk merusak aqidah ummat umumnya, khususnya generasi muda Muslim. Kata-kata membius itu disuntikkan sedikit demi sedikit melalui mas media, grafika dan elektronika, tulisan-tulisan dan talk show, hingga tak terasa.

Begitulah sikap musuh-musuh Islam. Lalu, bagaimana sikap kita?

Jumat, 25 Oktober 2013

Mengapa Ridho Suami Surga Bagi Istri?

1. Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kala rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.

2. Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah ibunya hingga dia beranjak dewasa.Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung nafkahmu,
perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.

3. Suami ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu serta dirimu.Padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya.Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.

4. Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha menyelesaikannya sendiri.Sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi.padahal bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar.namun tetap saja masalahmu di utamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.

5. Suami berusaha memahami bahasa diammu,bahasa tangisanmu sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami bahasa verbalnya saja.Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.

6. Bila engkau melakukan maksiat,maka dia akan ikut terseret ke neraka karena dia ikut bertanggung jawab akan maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak akan pernah di tuntut ke neraka karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus dipertanggung jawabkannya sendiri.

Andai Aku Punya Pacar

Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Sungguh indah rasanya dunia ini. Ada orang yang selalu memperhatikanku. Tiap hari ditanya kabar: udah bangun belum? (di saat pagi), lagi sibuk apa sekarang? Udah makan? (di saat siang), udah bobo’ belum, say? (di saat malam). Ooh…senang rasanya hati.

Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang bisa diajak jalan berdua. Bergandengan tangan. Boncengan berdua. Bersandingan di kendaraan. Keliling kota. Nonton bareng. Mesra. Seolah dunia milik berdua. Orang-orang lain cuman ngontrak. Ngekost. 
Ada tempat buat curhat. Tempat berkeluh kesah. Tempat berbagi cerita saat pusing dengan kuliah. Bisa juga dimintai saran-saran, kasih semangat saat malas belajar. Ada motivator ulung dengan bahasa-bahasa gombal, namun menyejukkan hati. Dengan gaya tutur kata yang puitis, seolah semua kesusahan dunia hilang sirna.

Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang ngingetin juga supaya rajin ibadah. Ada motivasi buat banyak lebih beramal. Bahkan di tengah malam yang dingin pun, aku akan terbangun jika di-misscalled untuk bangun Shalat Tahajud. Ooh…indahnya malam dengan rentetan do’a yang terselip namanya. Sedap rasanya ibadah.

Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku pasti dianggap orang yang paling spesial di mata dia. Paling didengar. Dan akupun akan senantiasa siap sedia. Selalu ada waktu spesial. Untuk jalan-jalan, mendengarkan curhatnya, meladeni celotehannya, dan…asyik deh pokoknya. Dengan berbagai keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Saking indahnya. Cinta…

Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku mungkin akan menjadi orang yang dzalim karena aku tidak bisa fokus meladeni SMS-nya. Saat dia mengajakku jalan, aku tak rela bilang: “maaf say, aku lagi rapat nih. Masih ada agenda lain. Jadi, kita nontonnya lain kali aja ya?”
Aku tidak punya waktu banyak untuk memperhatikan tingkah lakunya tiap saat. Aku harus mengerjakan banyak kerjaan. Banyak amanah yang harus aku tunaikan. Kasian sekali pacarku.

Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Akan banyak waktu produktifku terbuang begitu saja. Tidak mendatangkan banyak manfaat. Waktu 24 jam yang kumiliki habis hanya untuk satu orang. Ooh…sayangnya. Padahal, waktu berhargaku akan jauh lebih baik jika dipergunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Menjalankan serangkaian agenda untuk hajat hidup orang banyak. Menyebarkan banyak kebaikan, menebarkan banyak energi positif, membuat orang lain menyunggingkan senyum terbaikanya. Banyak orang. Bukan satu orang yang dispesialkan. Bahkan, aku akan bisa memotivasi orang untuk juga berbuat baik. Dan kebaikan itu jadi berantai… menular ke banyak orang. Sekali lagi, tidak hanya untuk satu orang yang kuanggap spesial.

Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Wah…aku akan takut ibadahku tidak ikhlas. Saat mau shalat di sajadah ada wajah dia yang elok. Dan jadi semangatpun, karena dia juga. Mau baca Qur’an seolah wajahnya menari-nari di antara ayat demi ayat yang kulantunkan. Mau tahajud, cuman gara-gara dia yang ngebangunin. Padahal, aku ingin niat ibadahku murni. Hanya untuk-Nya (dengan ‘N’ besar). Bukan karenanya.

Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku akan kehilangan banyak kesempatan menikmati indahnya perjuangan menjalani hidup yang penuh dengan banyak pelajaran. Penuh dengan indahnya rasa pengabdian, dedikasi, kontribusi. Aku akan luput dari orang-orang yang berada dalam kesibukan yang bermanfaat. Teralihkan hanya untuk kepentingan satu orang…
Sayang, maafkan aku. Bukannya aku tak mau menjadi kekasihmu. Aku takut akan dzalim kepadamu… Karena aku telah berjanji untuk mewakafkan diriku untuk kepentingan orang banyak. Bukan untukmu seorang…

Andai aku punya pacar
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Dan memang semoga aku benar-benar beruntung….


Yasir Arafat

Jumat, 04 Januari 2013

Sampai Tuhan Berkata “Waktunya Pulang”



                Suara tangisan bayi mungil yang terlahirkan kedunia sontak disambut bahagia oleh orang-orang di sekelilingnya, akhirnya setelah memalui perjuangkan panjang dan melelahkan sang ibu berhasil melahirkan sang jabang bayi kedunia. Begitulah sedikit perjalanan bagaimana manusia hadir di tengah-tengah dunia. Kecil, mungil, lucu, menarik banyak manusia lain untuk ikut serta menyaksikan kehadirannya didunia. “selamat datang didunia anakku” ucap sang ibu kepada buah hatinya. Itulah awal dimana kehidupanmu didunia dimulai. Tahap demi tahap harus dilalui, hingga bayi tersebut kemudian tumbuh, duduk, kemudian berhasil merangkak atau ngesot, belajar berdiri hingga bisa berjalan sendiri. Tak terasa dia pun kini siudah bisa berlari dan bersiap mendapatkan ilmu di PAUD dan dilanjutkan ke TK. Waktu pun tanpa terasa berjalan begitu cepat, SD, SMP, SMA sudah dilalu dengan berbagai perangai kehidupan didalamnya. Tak berhenti disitu, Pendidikan di perguruan tinggi pun dilahapnya hingga kemudian berlanjut di dunia kerja, kemudian menikah, punya anak, membangun rumah dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin itulah sistematika atau rentetan perjalanan hidup manusia kebanyakan didunia ini. Ternyata hidup didunia ini sangat singkat, orang jawa mengibaratkan hanya sekedar “mampir ngombe” alias istirahat sejenak untuk minum. Memang hidup kita didunia ini sangatlah singkat bila boleh diibaratkan seperti ini, kita mencelupkan jari telunjuk kita kedalam samudera pasifik kemudian kita mengangkatnya, dan kita membiarkan air sisa yang ada di jari telunjuk kita itu menetes kembali kedalam samudera pasifik, tetesan itu adalah hidup kita didunia, sedangkan samudera pasifik yang begitu luas adalah hidup kita diakhirat. Jadi sangatlah jauh perbandingan lamanya hidup kita didunia dengan di akhirat.
            Berbicara mengenai hidup maka kita berbicara pula mengenai semangat, berbicara pula mengenai belajar, berbicara pula mengenai proses dan berbicara mengenai hal-hal lain yang berperan didalamnya. Hidup ini semangat, tanpa semangat selesailah sudah hidup kita. Hidup ini belajar, belajar apapun dari lingkungan sekitar kita, agar kita menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya. Jika kita tidak lebih baik dari hari kemarin maka kita golongan orang yang celaka, jika kita sama saja dengan hari kemarin maka kita golongan orang yang merugi, jika kita lebih baik dari hari kemarin maka kita termasuk ke dalam golongan orang yang beruntung. Hidup adalah proses, tidak ada yang instan dalam hidup ini, mie instan pun butuh kita masak untuk dapat kita nikmati, apalagi hidup, jelas butuh proses agar kita mengerti setiap makna yang terkandung dalam setiap kejadian hidup ini. Dan yang tidak boleh kita lupakan adalah hidup kita untuk beribadah kepada Allah SWT. Setiap kalian yang bernafaskan Islam sudah jelas perintahnya bahwa lakukan segala sesuatu karena Allah SWT. Hidup ini sebenarnya mudah, hanya saja manusia yang mempersulitnya dengan kewajiban yang ditinggalkan, dengan aturan yang mereka langgar, dengan janji yang tidak mereka tepati. Taatlah pada Tuhan maka Tuhan akan semakin sayang kepadamu. Yang sering kita jumpai justru kita percaya Tuhan tetapi kita tidak mempercayakan kepada-Nya. Terbukti dengan masih seringnya kita melanggar syariat-syariat yang telah Dia tetapkan untuk kita. Sebelum terlambat mari kita terus berbenah, waktu kita semakin sempit, waktu kita terbatas, Your time is limited !. Hidup adalah semangat, hidup adalah belajar, hidup adalah proses, jatuh, bangkit lagi dan lagi. Gagal, coba lagi dan lagi sampai Tuhan berkata “Waktunya Pulang”.


1 januari 2013
-Abdul Ony Setiawan-