1. Suami dibesarkan oleh ibu yang mencintainya seumur hidup. Namun ketika dia dewasa, dia memilih mencintaimu yang bahkan belum tentu mencintainya seumur hidupmu, bahkan sering kala rasa cintanya padamu lebih besar daripada cintanya kepada ibunya sendiri.
2. Suami dibesarkan sebagai lelaki yang ditanggung nafkahnya oleh ayah ibunya hingga dia beranjak dewasa.Namun sebelum dia mampu membalasnya, dia telah bertekad menanggung nafkahmu,
perempuan asing yang baru saja dikenalnya dan hanya terikat dengan akad nikah tanpa ikatan rahim seperti ayah dan ibunya.
3. Suami ridha menghabiskan waktunya untuk mencukupi kebutuhan anak-anakmu serta dirimu.Padahal dia tahu, di sisi Allah, engkau lebih harus di hormati tiga kali lebih besar oleh anak-anakmu dibandingkan dirinya.Namun tidak pernah sekalipun dia merasa iri, disebabkan dia mencintaimu dan berharap engkau memang mendapatkan yang lebih baik daripadanya di sisi Allah.
4. Suami berusaha menutupi masalahnya dihadapanmu dan berusaha menyelesaikannya sendiri.Sedangkan engkau terbiasa mengadukan masalahmu pada dia dengan harapan dia mampu memberi solusi.padahal bisa saja disaat engkau mengadu itu, dia sedang memiliki masalah yang lebih besar.namun tetap saja masalahmu di utamakan dibandingkan masalah yang dihadapi sendiri.
5. Suami berusaha memahami bahasa diammu,bahasa tangisanmu sedangkan engkau kadang hanya mampu memahami bahasa verbalnya saja.Itupun bila dia telah mengulanginya berkali-kali.
6. Bila engkau melakukan maksiat,maka dia akan ikut terseret ke neraka karena dia ikut bertanggung jawab akan maksiatmu. Namun bila dia bermaksiat, kamu tidak akan pernah di tuntut ke neraka karena apa yang dilakukan olehnya adalah hal-hal yang harus dipertanggung jawabkannya sendiri.
Jumat, 25 Oktober 2013
Andai Aku Punya Pacar
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Sungguh indah rasanya dunia ini. Ada orang yang selalu memperhatikanku. Tiap hari ditanya kabar: udah bangun belum? (di saat pagi), lagi sibuk apa sekarang? Udah makan? (di saat siang), udah bobo’ belum, say? (di saat malam). Ooh…senang rasanya hati.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang bisa diajak jalan berdua. Bergandengan tangan. Boncengan berdua. Bersandingan di kendaraan. Keliling kota. Nonton bareng. Mesra. Seolah dunia milik berdua. Orang-orang lain cuman ngontrak. Ngekost.
Ada tempat buat curhat. Tempat berkeluh kesah. Tempat berbagi cerita saat pusing dengan kuliah. Bisa juga dimintai saran-saran, kasih semangat saat malas belajar. Ada motivator ulung dengan bahasa-bahasa gombal, namun menyejukkan hati. Dengan gaya tutur kata yang puitis, seolah semua kesusahan dunia hilang sirna.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang ngingetin juga supaya rajin ibadah. Ada motivasi buat banyak lebih beramal. Bahkan di tengah malam yang dingin pun, aku akan terbangun jika di-misscalled untuk bangun Shalat Tahajud. Ooh…indahnya malam dengan rentetan do’a yang terselip namanya. Sedap rasanya ibadah.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku pasti dianggap orang yang paling spesial di mata dia. Paling didengar. Dan akupun akan senantiasa siap sedia. Selalu ada waktu spesial. Untuk jalan-jalan, mendengarkan curhatnya, meladeni celotehannya, dan…asyik deh pokoknya. Dengan berbagai keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Saking indahnya. Cinta…
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku mungkin akan menjadi orang yang dzalim karena aku tidak bisa fokus meladeni SMS-nya. Saat dia mengajakku jalan, aku tak rela bilang: “maaf say, aku lagi rapat nih. Masih ada agenda lain. Jadi, kita nontonnya lain kali aja ya?”
Aku tidak punya waktu banyak untuk memperhatikan tingkah lakunya tiap saat. Aku harus mengerjakan banyak kerjaan. Banyak amanah yang harus aku tunaikan. Kasian sekali pacarku.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Akan banyak waktu produktifku terbuang begitu saja. Tidak mendatangkan banyak manfaat. Waktu 24 jam yang kumiliki habis hanya untuk satu orang. Ooh…sayangnya. Padahal, waktu berhargaku akan jauh lebih baik jika dipergunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Menjalankan serangkaian agenda untuk hajat hidup orang banyak. Menyebarkan banyak kebaikan, menebarkan banyak energi positif, membuat orang lain menyunggingkan senyum terbaikanya. Banyak orang. Bukan satu orang yang dispesialkan. Bahkan, aku akan bisa memotivasi orang untuk juga berbuat baik. Dan kebaikan itu jadi berantai… menular ke banyak orang. Sekali lagi, tidak hanya untuk satu orang yang kuanggap spesial.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Wah…aku akan takut ibadahku tidak ikhlas. Saat mau shalat di sajadah ada wajah dia yang elok. Dan jadi semangatpun, karena dia juga. Mau baca Qur’an seolah wajahnya menari-nari di antara ayat demi ayat yang kulantunkan. Mau tahajud, cuman gara-gara dia yang ngebangunin. Padahal, aku ingin niat ibadahku murni. Hanya untuk-Nya (dengan ‘N’ besar). Bukan karenanya.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku akan kehilangan banyak kesempatan menikmati indahnya perjuangan menjalani hidup yang penuh dengan banyak pelajaran. Penuh dengan indahnya rasa pengabdian, dedikasi, kontribusi. Aku akan luput dari orang-orang yang berada dalam kesibukan yang bermanfaat. Teralihkan hanya untuk kepentingan satu orang…
Sayang, maafkan aku. Bukannya aku tak mau menjadi kekasihmu. Aku takut akan dzalim kepadamu… Karena aku telah berjanji untuk mewakafkan diriku untuk kepentingan orang banyak. Bukan untukmu seorang…
Andai aku punya pacar
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Dan memang semoga aku benar-benar beruntung….
Yasir Arafat
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Sungguh indah rasanya dunia ini. Ada orang yang selalu memperhatikanku. Tiap hari ditanya kabar: udah bangun belum? (di saat pagi), lagi sibuk apa sekarang? Udah makan? (di saat siang), udah bobo’ belum, say? (di saat malam). Ooh…senang rasanya hati.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang bisa diajak jalan berdua. Bergandengan tangan. Boncengan berdua. Bersandingan di kendaraan. Keliling kota. Nonton bareng. Mesra. Seolah dunia milik berdua. Orang-orang lain cuman ngontrak. Ngekost.
Ada tempat buat curhat. Tempat berkeluh kesah. Tempat berbagi cerita saat pusing dengan kuliah. Bisa juga dimintai saran-saran, kasih semangat saat malas belajar. Ada motivator ulung dengan bahasa-bahasa gombal, namun menyejukkan hati. Dengan gaya tutur kata yang puitis, seolah semua kesusahan dunia hilang sirna.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Ada yang ngingetin juga supaya rajin ibadah. Ada motivasi buat banyak lebih beramal. Bahkan di tengah malam yang dingin pun, aku akan terbangun jika di-misscalled untuk bangun Shalat Tahajud. Ooh…indahnya malam dengan rentetan do’a yang terselip namanya. Sedap rasanya ibadah.
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku pasti dianggap orang yang paling spesial di mata dia. Paling didengar. Dan akupun akan senantiasa siap sedia. Selalu ada waktu spesial. Untuk jalan-jalan, mendengarkan curhatnya, meladeni celotehannya, dan…asyik deh pokoknya. Dengan berbagai keindahan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Saking indahnya. Cinta…
Andai aku punya pacar…
Tapi, sayangnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku mungkin akan menjadi orang yang dzalim karena aku tidak bisa fokus meladeni SMS-nya. Saat dia mengajakku jalan, aku tak rela bilang: “maaf say, aku lagi rapat nih. Masih ada agenda lain. Jadi, kita nontonnya lain kali aja ya?”
Aku tidak punya waktu banyak untuk memperhatikan tingkah lakunya tiap saat. Aku harus mengerjakan banyak kerjaan. Banyak amanah yang harus aku tunaikan. Kasian sekali pacarku.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Akan banyak waktu produktifku terbuang begitu saja. Tidak mendatangkan banyak manfaat. Waktu 24 jam yang kumiliki habis hanya untuk satu orang. Ooh…sayangnya. Padahal, waktu berhargaku akan jauh lebih baik jika dipergunakan untuk kemaslahatan orang banyak. Menjalankan serangkaian agenda untuk hajat hidup orang banyak. Menyebarkan banyak kebaikan, menebarkan banyak energi positif, membuat orang lain menyunggingkan senyum terbaikanya. Banyak orang. Bukan satu orang yang dispesialkan. Bahkan, aku akan bisa memotivasi orang untuk juga berbuat baik. Dan kebaikan itu jadi berantai… menular ke banyak orang. Sekali lagi, tidak hanya untuk satu orang yang kuanggap spesial.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Wah…aku akan takut ibadahku tidak ikhlas. Saat mau shalat di sajadah ada wajah dia yang elok. Dan jadi semangatpun, karena dia juga. Mau baca Qur’an seolah wajahnya menari-nari di antara ayat demi ayat yang kulantunkan. Mau tahajud, cuman gara-gara dia yang ngebangunin. Padahal, aku ingin niat ibadahku murni. Hanya untuk-Nya (dengan ‘N’ besar). Bukan karenanya.
Andai aku punya pacar…
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Coba kalau aku punya pacar…
Aku akan kehilangan banyak kesempatan menikmati indahnya perjuangan menjalani hidup yang penuh dengan banyak pelajaran. Penuh dengan indahnya rasa pengabdian, dedikasi, kontribusi. Aku akan luput dari orang-orang yang berada dalam kesibukan yang bermanfaat. Teralihkan hanya untuk kepentingan satu orang…
Sayang, maafkan aku. Bukannya aku tak mau menjadi kekasihmu. Aku takut akan dzalim kepadamu… Karena aku telah berjanji untuk mewakafkan diriku untuk kepentingan orang banyak. Bukan untukmu seorang…
Andai aku punya pacar
Tapi, untungnya aku tak punya pacar…
Dan memang semoga aku benar-benar beruntung….
Yasir Arafat
Jumat, 04 Januari 2013
Sampai Tuhan Berkata “Waktunya Pulang”
Suara tangisan bayi mungil yang terlahirkan kedunia
sontak disambut bahagia oleh orang-orang di sekelilingnya, akhirnya setelah
memalui perjuangkan panjang dan melelahkan sang ibu berhasil melahirkan sang
jabang bayi kedunia. Begitulah sedikit perjalanan bagaimana manusia hadir di
tengah-tengah dunia. Kecil, mungil, lucu, menarik banyak manusia lain untuk
ikut serta menyaksikan kehadirannya didunia. “selamat datang didunia anakku”
ucap sang ibu kepada buah hatinya. Itulah awal dimana kehidupanmu didunia
dimulai. Tahap demi tahap harus dilalui, hingga bayi tersebut kemudian tumbuh,
duduk, kemudian berhasil merangkak atau ngesot, belajar berdiri hingga bisa
berjalan sendiri. Tak terasa dia pun kini siudah bisa berlari dan bersiap mendapatkan
ilmu di PAUD dan dilanjutkan ke TK. Waktu pun tanpa terasa berjalan begitu
cepat, SD, SMP, SMA sudah dilalu dengan berbagai perangai kehidupan didalamnya.
Tak berhenti disitu, Pendidikan di perguruan tinggi pun dilahapnya hingga
kemudian berlanjut di dunia kerja, kemudian menikah, punya anak, membangun
rumah dan sebagainya dan sebagainya. Mungkin itulah sistematika atau rentetan
perjalanan hidup manusia kebanyakan didunia ini. Ternyata hidup didunia ini
sangat singkat, orang jawa mengibaratkan hanya sekedar “mampir ngombe” alias
istirahat sejenak untuk minum. Memang hidup kita didunia ini sangatlah singkat
bila boleh diibaratkan seperti ini, kita mencelupkan jari telunjuk kita kedalam
samudera pasifik kemudian kita mengangkatnya, dan kita membiarkan air sisa yang
ada di jari telunjuk kita itu menetes kembali kedalam samudera pasifik, tetesan
itu adalah hidup kita didunia, sedangkan samudera pasifik yang begitu luas
adalah hidup kita diakhirat. Jadi sangatlah jauh perbandingan lamanya hidup
kita didunia dengan di akhirat.
Berbicara mengenai hidup maka kita berbicara pula mengenai
semangat, berbicara pula mengenai belajar, berbicara pula mengenai proses dan
berbicara mengenai hal-hal lain yang berperan didalamnya. Hidup ini semangat,
tanpa semangat selesailah sudah hidup kita. Hidup ini belajar, belajar apapun
dari lingkungan sekitar kita, agar kita menjadi insan yang lebih baik dari
sebelumnya. Jika kita tidak lebih baik dari hari kemarin maka kita golongan
orang yang celaka, jika kita sama saja dengan hari kemarin maka kita golongan
orang yang merugi, jika kita lebih baik dari hari kemarin maka kita termasuk ke
dalam golongan orang yang beruntung. Hidup adalah proses, tidak ada yang instan
dalam hidup ini, mie instan pun butuh kita masak untuk dapat kita nikmati,
apalagi hidup, jelas butuh proses agar kita mengerti setiap makna yang
terkandung dalam setiap kejadian hidup ini. Dan yang tidak boleh kita lupakan
adalah hidup kita untuk beribadah kepada Allah SWT. Setiap kalian yang
bernafaskan Islam sudah jelas perintahnya bahwa lakukan segala sesuatu karena
Allah SWT. Hidup ini sebenarnya mudah, hanya saja manusia yang mempersulitnya
dengan kewajiban yang ditinggalkan, dengan aturan yang mereka langgar, dengan
janji yang tidak mereka tepati. Taatlah pada Tuhan maka Tuhan akan semakin
sayang kepadamu. Yang sering kita jumpai justru kita percaya Tuhan tetapi kita
tidak mempercayakan kepada-Nya. Terbukti dengan masih seringnya kita melanggar
syariat-syariat yang telah Dia tetapkan untuk kita. Sebelum terlambat mari kita
terus berbenah, waktu kita semakin sempit, waktu kita terbatas, Your time is
limited !. Hidup adalah semangat, hidup adalah belajar, hidup adalah proses, jatuh,
bangkit lagi dan lagi. Gagal, coba lagi dan lagi sampai Tuhan berkata “Waktunya
Pulang”.
1 januari 2013
-Abdul Ony Setiawan-
-Abdul Ony Setiawan-
Kamis, 03 Januari 2013
Sukses?
Sukses, berapa kali
kalian mendengar kata itu? Puluhan? Ratusan? Atau bahkan hingga ribuan?. Pasti
sudah tidak asing dan sudah familiar dengan pesona kata sukses. Bagi sebagian,
atau bahkan banyak kalangan, kesuksesan adalah primadona yang banyak diburu dan
menjadi incaran manusia yang hidup di alam raya ini. Banyak pendapat, argumen,
pernyataan yang menyatakan sukses itu seperti ini, sukses itu begini, sukses
itu begitu, sukses itu harus seperti ini, sukses itu sudah selayaknya melakukan
begini, bla bla bla bla bla dan lain sebagainya. Banyak perbedaan persepsi yang
menyeruap kepermukaan tentang kesuksesan, banyak pendapat yang muncul tentang
tolok ukur kesuksesan. Lantas seperti apakah sukses menurut pendapat kalian?
Silahkan menafsirkan sendiri dalam hati, pikiran atau mungkin lewat tulisan.
Disini, penulis akan sedikit berpendapat mengenai apa itu kesuksesan, dan apa
tolok ukurnya menurut sudut pandang saya pribadi. Bagi saya, sukses adalah
kontribusi. Apakah itu sukses adalah kontribusi? Jadi begini, seperti yang
disabdakan Rasulullah SAW, sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi
sesamanya. Dari sabda tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia terbaik
adalah yang mampu menebar manfaat di kesempatan hidupnya didunia dan itu adalah
sebaik-baik manusia. Maka dari itu sudah jelas bahwa jika kita ingin sukses
maka kita harus berkontribusi dimanapun, kapanpun, dan dalam kondisi
bagaimanapun.
Lantas kemudian apakah yg dimaksud dengan kontribusi,
bagi saya kontribusi adalah saat bagaimana sistem dapat berjalan dan berkembang
dengan baik ketika dirimu berada didalamnya. Jadi jika kalian berada dalam
wadah sebuah sistem maka kalian dapat dikatakan berkontribusi dengan baik saat
sistem dapat berjalan sesuai porosnya dan berkembang dengan baik tanpa mengalami
degadrasi. Dimanapun tempatnya, dan kapanpu itu, jika kontribusi kita maksimal
maka kepercayaan itu akan datang dengan sendirinya. How you do anything is how you do everything, Bagaimana kalian
melakukan sesuatu adalah bagaimana kamu melakukan segalanya. Kebiasaan disini
berpengaruh sangat besar terhadap citra dan kepercayaan yang nantinya akan
kalian dapatkan. Saat kepercayaan itu sudah muncul maka kontribusi yang kalian
lakukan akan dapat terlaksana lebih maksimal. Dari sini dapat ditarik kesimpulan
bahwa sukses bukanlah saat kalian bergelimangan harta, uang banyak, mobil
puluhan, rumah ada dimana-mana, gaji puluhan juta kemudian kerjaan lancar,
lebih dari itu sukses adalah seberapa besar manfaat yang dirasakan oleh
orang-orang disekitar kalian atas hadirmu ditengah-tengah mereka. Percuma jika
seluruh kekayaan dan harta kita miliki tapi kontribusimu tidak ada di tengah-tengah
saudara-saudaramu yang menyaksikanmu sehari-hari. Harta hanyalah hadiah dan
akibat yang ditimbulkan dari kontribusimu ditengah-tengah masyarakat. Dan satu
hal lagi yang tak kalah penting bahwa kesuksesan yang kita dapatkan bukanlah
murni dari usaha kita pribadi, maka kita tidak patut menyombongkan diri
terhadap apa yang telah kita miliki. Sebagian dari yang kita miliki adalah
milik mereka, saudara-saudara kita yang membutuhkan uluran tangan dari kita.
Kesuksesan yang kita peroleh tak pernah lepas dari kuasa sang pencipta, kita
hanya sebagai perantara saja.
Ibarat kata seperti kertas putih, jika ada pertanyaan
mengapa kertas putih tersebut bisa terlipat? Pasti mayoritas menjawab karena
dilipat. Padahal jauh dari itu, jawaban yang harusnya mendahului dari jawaban
tersebut adalah karena kertas memiliki daya untuk dilipat dan karena ada yang
melipat. Begitu pula manusia, mengapa manusia sukses? Karena manusia memiliki
daya untuk sukses dan ada yang mensukseskannya yaitu sang pencipta Allah SWT.
Mustahil rasanya jika manusia sukses karena kemampuan pribadinya semata.
Manusia sebenarnya hanyalah media saja, yang menjalankan Tuhan, yang memberikan
kekuatan untuk sukses juga Tuhan. Maka tidak pantas jika kita angkuh terhadap
apa yang telah kita dapatkan hingga detik ini. Tetaplah rendah hati, jadilah
manusia yang ahli syukur, ahli sabar dan memandang diri ini rendah meskipun
orang-orang memenadang dirimu luar biasa. Waallahua’lam Bisshawab. Mohon maaf
atas segala kekurangan ilmu dan pengetahuan dari penulis, akan tetapi
kekurangan ilmu dan pengetahuan tidak mengugurkan kewajiban untuk mengajak dan
mengingatkan kepada kebaikan. :D
3 Januari 2013
-Abdul Ony Setiawan-
Selasa, 01 Januari 2013
Iman Bukan Hanya Sekedar Percaya
Dulu ketika masih duduk di bangku Sekolah dasar atau
mungkin bangku Taman Kanak-Kanak kita sudah dikenalkan dengan yang namanya
Iman. Dengan semangat, guru pendidik kita menjelaskan apa itu Iman. Karena
memang kita saat itu belum memahami sehingga kita hanya terdiam, memperhatikan
bapak/ibu guru yang sedang “on fire” menjelaskan didepan. Mungkin semua sepakat
jika mayoritas dari bapak/ibu guru kita mendiskripsikan Iman dengan pengertian
PERCAYA dalam hati, DIUCAPKAN dengan lisan, DIWUJUDKAN dengan perbuatan. Saya
rasa mayoritas sekokah dimanapun itu tempatnya sepakat jika pengertian Iman
seperti yang tertera diatas. Lantas apakah kemudian kita mengerti dan memahami
dari maksud Iman yang dijelaskan sebelumnya? Mungkin karena saat itu kita masih
polos, unyu-unyu kayak kue bolu, lucu dan menggemaskan kita hanya bisa
menangkap dengan radar kita bahwa cukup dengan percaya adanya Tuhan, diucapkan
“saya beriman, saya beriman, saya beriman” di setiap kesempatan yang ada
kemudian diwujudkan dengan sholat biasanya bagi sobat-sobat yang muslim.
Seiring berjalannya waktu, saat tanpa kita sadari umur kian bertambah, fisik
kian tumbuh, pemikiran mulai matang, pengertian iman ini masih belum kita
pahami secara mendalam. Akibatnya apa? Jelas rasa cinta, rasa sayang, rasa
membutuhkan terhadap sang pencipta pun agaknya masih sangat lemah. “Yang
terpenting saya sudah Islam, saya rasa sudah aman untuk membawa saya kesurga”
mungkin saja beberapa dari kita beranggapan seperti demikian. Riskan sekali
sobat, baginda rasul kita, Muhammad SAW yang sudah di nas kan untuk masuk surag
saja tak pernah henti untuk menyembah, meminta pertolongan, meminta ampun
kepada Allah SWT. Kita yang notabenya jauh sekali jika dibandingkan dengan
rasul dari aspek apapun kok justru seakan tidak membutuhkan-Nya. Ironis memang
melihat fenomena yang terjadi saat ini, kita percaya adanya Allah SWT, Dzat
yang mengatur segalanya, tetapi disisi lain kita enggan untuk mendekat
kepadanya, malas berkunjung dan sholat berjamaah ke Masjid atau Musholla yang
disebut sebagai rumah Allah, tidak mau menjalankan syariat-Nya. Hal ini sama
saja kita mengaku islam, mau menjadi islam, tapi tidak mau mengikuti apa yang
seharusnya dilakukan oleh yang diajarkan Islam. Mau Islamnya tapi tidak mau menjalani
yang diperintahkan, sama saja dengan mau kenyang tapi tidak mau makan.
Kepercayaan kita masih semu dengan agama yang sempurna ini. Iman bukan hanya
sekedar percaya, tapi juga disetiap tutur kata yang kita ucapkan harus
mencerminkan bahwa diri kita adalah orang yang beriman, disetiap perbuatan yang
kita lakukan harus pula mencerminkan bahwa kita adalah orang yang beriman. Jika
kalian tak mampu mengemban nikmat Iman yang diberikan kepadamu ini, kelak Allah
SWT akan menggantikan kalian dengan ornag-orang yang jauh lebih baik dari
kalian, yang mencinta Allah SWT sepenuh hati dan Allah SWT pun sangat
mencintainya, InsyaAllah. Mari sama-sama belajar, Maafkan khilaf yg terselip, dari kami yang masih kurang ilmu
ini, namun kurangnya ilmu tidaklah menggugurkan kewajiban untuk sampaikan
kebenaran :)
10 Oktober 2012,
-Abdul Ony Setiawan-
10 Oktober 2012,
-Abdul Ony Setiawan-
Langganan:
Postingan (Atom)